Rabu, 30 November 2011

Alasan Koperasi Sulit Berkembang si Indonesia

Alasan Koperasi Sulit Berkembang si Indonesia


  Pasang-surut Koperasi di Indonesia Koperasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang dan surut. Sebuah pertanyaan sederhana namun membutuhkan jawaban njelimet, terlontar dari seorang peserta. ? Mengapa jarang dijumpai ada Koperasi yang bertumbuh menjadi usaha besar yang menggurita, layaknya pelaku ekonomi lain, yakni swasta (konglomerat) dan BUMN? Mengapa gerakan ini hanya berkutat dari
persoalan yang satu ke persoalan lain, dan cenderung stagnan alias berjalan di tempat? Mengapa Koperasi sulit berkembang di tengah ?habitat? alamnya di Indonesia?? Inilah sederet pertanyaan yang perlu dijadikan bahan perenungan.Padahal, upaya pemerinta untuk ?memberdayakan? Koperasi seolah tidak pernah habis. Bahkan, bila dinilai, mungkin amat memanjakan. Berbagai paket program bantuan dari pemerintah seperti kredit program: KKop, Kredit Usaha Tani (KUT), pengalihan saham (satu persen) dari perusahaan besar ke Koperasi, skim program KUK dari bank dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial dari perbankan, juga ?paket program? dari Permodalan Nasional Madani (PNM), terus mengalir untuk memberdayakan gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan program, ada institusi khusus yangmenangani di luar Dekopin, yaitu Menteri Negara Urusan Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil Menengah), yang seharusnya memacu gerakan ini untuk terus maju. Namun,
kenyataannya, Koperasi masih saja melekat dengan stigma ekonomi marjinal, pelaku
bisnis yang perlu dikasihani, pelaku bisnis ?pupuk bawang?, pelaku bisnis tak
profesional.Masalah tersebut tidak bisa dilepaskan dari substansi Koperasi yang
berhubungan dengan semangat.


Dalam konteks ini adalah semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Jadi, bila koperasi dianggap kecil, tidak berperan, dan merupakan kumpulan serba lemah, itu terjadi karena adanya pola pikir yang menciptakan demikian.Singkatnya, Koperasi adalah untuk yang kecil-kecil, sementara yang menengah bahkan besar, untuk kalangan swasta dan BUMN. Di sinilah terjadinya penciptaan paradigma yang salah. Hal ini mungkin terjadi akibat gerakan Koperasi terlalu sarat berbagai embel-embel, sehingga ia seperti orang kerdil yang menggendong sekarung beras di pundaknya. Koperasi adalah ?badan usaha?, juga ?perkumpulan orang? Termasuk yang ?berwatak sosial?. Definisi yang melekat jadi memberatkan, yakni ?organisasi sosial yang berbisnis? atau ?lembaga ekonomi yang mengemban fungsi sosial.? Berbagai istilah apa pun yang melekat, sama saja, semua memberatkan gerakan Koperasi dalam menjalankan visi dan misi bisnisnya. Mengapa tidak disebut badan usaha misalnya, sama dengan pelaku ekonomi-bisnis lainnya, yakni kalangan swasta dan BUMN, sehingga ketiganya memiliki kedudukan dan potensi sejajar. Padahal, persaingan yang terjadi di lapangan demikian ketat, tak hanya sekadar pembelian embel-embel. hanya kompetisi ketat semacam itulah yang membuat mereka bisa menjadi pengusaha besar yang tangguh dan profesional.
Para pemain ini akan disaring secara alami, mana yang efisien dalam menjalankan bisnis dan mereka yang akan tetap eksis.Koperasi yang selama ini diidentikkan dengan hal-hal yang kecil, pinggiran dan akhirnya menyebabkan fungsinya tidak berjalan optimal. Memang pertumbuhan Koperasi cukup fantastis, di mana di akhir tahun 1999 hanya berjumlah 52.000-an, maka di akhir tahun 2000 sudah mencapai hampir 90.000-an dan di tahun 2007 ini terdapat koperasi di Indonesia. Namun, dari jumlah yang demikian besar itu, kontribusinya bagi pertumbuhan mesin ekonomi belum terlalu signifikan. Koperasi masih cenderung menempati ekonomi pinggiran (pemasok dan produksi), lebih dari itu, sudah dikuasai swasta dan BUMN. Karena itu,tidak aneh bila kontribusi Koperasi terhadap GDP (gross domestic product) baru sekitar satu sampai dua persen, itu adalah akibat frame of mind yangsalah.
Di Indonesia, beberapa Koperasi sebenarnya sudah bisa dikatakan memiliki unit usaha besar danberagam serta tumbuh menjadi raksasa bisnis berskala besar. Beberapa Koperasi telah
tumbuh menjadi konglomerat ekonomi Indonesia, yang tentunya tidak kalah jika
dibandingkan dengan perusahaan swasta atau BUMN yang sudah menggurita, namun
kini banyak yang sakit. Omzet mereka mencapai milyaran rupiah setiap bulan. Konglomerat yang dimaksud di sini memiliki pengertian: Koperasi yang bersangkutan sudah merambah dan menangani berbagai bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan merangsek ke berbagai bidang usaha-bisnis komersial.


Pernyataan Presiden tentang Koperasi di Indonesia:

Pekan lalu, di acara perayaan ulang tahun koperasi yang ke-60, Presiden mengatakan bahwa tidak ada tempat bagi sistem perekonomian berbasis kapitalisme dan neoliberalisme di Indonesia. Alasannya, kata Presiden, kedua ideologi tersebut tidak mampu menjamin kemakmuran bagi seluruh rakyat. Karena itu, Indonesia memilih ideologi terbuka yang berkeadilan sosial, dan koperasi merupakan wadah yang paling ideal.
Ketidakmakmuran yang dikemukakan Pre-siden di hadapan 7.000 anggota dan pengurus koperasi dari seluruh Indonesia adalah masalah ekonomi nasional, yang tentu tak ada sangkut-pautnya dengan paham atau sistem ekonomi. Oleh sebab itu, pernyataan Presiden itu harus kita artikan sebagai sikap keberpihakan pemerintah terhadap koperasi, yang sejak krisis ekonomi 1998 memang kurang mendapat perhatian.
Adapun soal ketidakmakmuran rakyat yang semakin memprihatinkan di negara ini, tidak mudah kita kaitkan dengan koperasi. Kalau mau realistis, harus diakui bahwa koperasi-koperasi kita masih jauh dari sehat dan belum siap memikul beban yang amat berat. Bahkan koperasi yang ada pun, ditaksir berjumlah 138.000, sekitar 30 persen di antaranya ”mati”. Jadi, langkah awal adalah menyehatkan koperasi yang ada. Jika upaya ini berhasil, maka langkah awal meningkatkan kesejahteraan rakyat sudah tercapai.

sumber:
http://yanifachturahman.blogspot.com
http://www.majalahtrust.com/indikator/teras/1417.php

Koperasi Menghadapi Era Globalisasi

Koperasi Menghadapi Era Globalisasi

Globalisasi Ekonomi

Globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan akan berlangsung terus dalam Iaju yang semakin pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi dan komunikasi sangat penting, yang dapat menyebabkan terjadinya penipisan batas-batas antar negara ataupun antar daerah di suatu wilayah.
Era globalisasi membuka peluang sekaligus tantangan bagi pengusaha Indonesia termasuk usaha kecil, karena pada era ini daya saing produk sangat tinggi, live cycle product relatif pendek mengikuti trend pasar, dan kemampuan inovasi produk relatif cepat. Ditinjau dari sisi ekspor, liberalisasi berdampak positif terhadap produk tekstil/pakaian jadi , akan tetapi kurang menguntungkan sektor pertanian khususnya produk makanan.
Kinerja ekspor UKM lebih kecil dibandingkan dengan negara tetangga seperti malaysia, Filipina dan UKM, baik dalam hal nilai ekspor maupun dalam hal divesifikasi produk. Ini menunjukkan ekspor produk UKM Iebih terkonsentrasi pada produk tradisional yang memiliki keunggulan komparatif seperti pakaian jadi, meubel.
Mengingat ketatnya persaingan yang dihadapi produk ekspor Indonesia termasuk UKM, maka Indonesia mengambil langkah-langkah strategis, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Langkah-langkah strategis jangka panjang diantaranya diarahkan untuk mengembangkan sumber daya manusia, teknologi dan jaringan bisnis secara global. Sedangkan langkah-langkah strategis jangka pendek diantaranya, melakukan diversifikasi produk, menjalin kerjasama dengan pemerintah dan perusahaan besar, produksi, memperkuat akses ke sumber-sumber informasi dan perbaikan mutu.



Koperasi di Era Globalisasi

Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) :
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain. Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan.

Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain. Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank. Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.

Kedua, koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain. Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat. Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit.

Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut. Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank. Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank. Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Jadi jelas terlihat bahwa Koperasi Indonesia masih sangat penting walaupun harus menghadapi era globalisasi dimana semakin banyak pesaing ekonomi yang bermunculan dari luar negeri dan walaupun seperti itu, Koperasi masih sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, selalu berusaha mensejahterakan rakyat Indonesia.
Seperti kata Presiden SBY
"Membangun ekonomi Indonesia dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak bisa hanya mengikuti model ekonomi negara lain. Yang bisa akhirnya menggangkat taraf hidup 240 juta di seluruh tanah air dari sabang sampai marauke, dari Miangas hingga Pulau Rote adalah ekonomi rakyat "
Jadi,koperasi tidak harus hilang berbaur atau mengikuti trend negara lain dan masih dapat berdiri dan menjalankan fungsi-fungsinnya selama ini.

sumber:
http://jaggerjaques.blogspot.com
www.google.co.id
wikipedia indonesia

Prospek Ekonomi Indonesia Tahun 2010 dan 2011

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6,0% pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 6,0-6,5% pada tahun 2011. Dengan demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula. “Di samping tetap kuatnya permintaan domestik, perbaikan terutama bersumber dari sisi eksternal sejalan dengan pemulihan ekonomi global, seperti terlihat dari ekspor yang mencatat pertumbuhan positif sejak triwulan IV-2009

Pemulihan ekonomi global sangat jelas terlihat dari berbagai indikator ekonomi baik di negara maju (Amerika Serikat dan Jepang) maupun di kawasan Asia (Cina dan India). Di Amerika Serikat, pemulihan tercermin pada pengeluaran konsumsi masyarakat yang terus menguat dan dibarengi peningkatan respon di sisi produksi. Sementara di Jepang, ditandai oleh pertumbuhan positif pada triwulan terakhir 2009. Di Cina dan India, indikasi pemulihan ekonomi lebih jelas terlihat sebagaimana tercermin pada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Berbagai perbaikan tersebut memberikan dampak positif bagi negara-negara yang menjadi mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

Pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor non migas Indonesia yang pada triwulan IV-2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17% dan masih berlanjut pada Januari 2010. Peningkatan ekspor tidak hanya terjadi pada komoditas pertambangan dan pertanian, tetapi juga ekspor komoditas manufaktur mulai mengalami peningkatan. Perkembangan ini mendukung pertumbuhan di sektor industri dan sektor perdagangan yang lebih tinggi dari perkiraan. Sementara itu, aktivitas impor sedikit meningkat sejalan dengan peningkatan ekspor tersebut, meskipun pada tingkat yang masih rendah. Transaksi berjalan di triwulan I-2010 diperkirakan mencatat surplus yang lebih besar dari perkiraan semula. Sementara itu, keyakinan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia yang semakin membaik tercermin pada surplus transaksi modal dan finansial yang masih cukup tinggi. Dengan berbagai perkembangan tersebut, untuk keseluruhan tahun 2010 surplus NPI diperkirakan lebih baik dari perkiraan semula. “Tinggal 1 notch lagi bagi Indonesia untuk mencapai investment grade, sehingga akan semakin memberikan keyakinan yang lebih besar bagi investor asing untuk meningkatkan investasinya di Indonesia”, jelas Hartadi menanggapi perbaikan sovereign rating Indonesia oleh Fitch menjadi BB+ dari semula BB beberapa waktu yang lalu.

Disamping kinerja ekspor yang membaik tersebut, kegiatan konsumsi swasta juga menunjukkan perbaikan. Hal ini dikonfirmasi oleh peningkatan berbagai indikator konsumsi seperti impor barang konsumsi, penjualan mobil dan motor, serta penjualan ritel. Ke depan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap meningkat sejalan dengan pendapatan yang lebih tinggi karena income effect dari perbaikan ekspor dan terjaganya tingkat keyakinan konsumen.

Di sisi harga, tekanan inflasi diyakini belum akan signifikan setidaknya pada semester I-2010. Perkembangan inflasi dalam 2 bulan pertama 2010 masih tetap terjaga pada tingkat yang rendah. Relatif terkendalinya inflasi juga tercermin pada perkembangan inflasi inti yang turun dari 4,43% (yoy) pada bulan Januari 2010 menjadi 3,88% (yoy) pada bulan Februari 2010. Kenaikan inflasi IHK di awal tahun 2010 terbukti bersifat temporer, terutama karena kenaikan harga beras, dan diperkirakan tidak akan terjadi lagi lonjakan harga dalam beberapa bulan ke depan seiring dengan telah datangnya musim panen di berbagai daerah. Kemungkinan kenaikan tarif TDL, apabila kemudian tetap diberlakukan, diperkirakan juga tidak akan menimbulkan dampak yang besar terhadap inflasi sepanjang diterapkan terutama pada kelompok pelanggan besar. Secara keseluruhan, inflasi ke depan diyakini akan tetap terjaga pada sasaran yang ditetapkan yakni 5%+1% pada tahun 2010 dan 2011. “Meskipun kegiatan ekonomi domestik meningkat

sumber : http://www.newsbanking.com/2010/09/prospek-ekonomi-indonesia-2010-2011.html

Koperasi Di Indonesia Saat Ini

Kondisi Perkoperasian di Indonesia


Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. (Koperasi inilah yang merupakan cikal bakal BRI).
Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan SDI. Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka toko-toko koperasi. Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” dan disingkat SKN.

Pada jaman Jepang, pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya.
Karena besamya aktivitas dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung.

Koperasi adalah Organisasi Bisnis yang dimiliki dan dioperasikan oleh beberapa orang demi kepentingan bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Di Indonesia, prinsip koperasi telah dicantumkan dalam UU No. 12 Tahun 1967 dan UU No. 25 Tahun 1992, Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 Pasal 4 dijelaskan bahwa koperasi memiliki fungsi dan peranan antara lain yaitu mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat, berupaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia, memperkokoh perekonomian rakyat, mengembangkan perekonomian nnasional, serta mengembangkan kreativitas dan jiwa berorganisasi bagi pelajar bangsa. Prinsip koperasi di Indonesia kurang lebih sama dengan prinsip yang diakui dunia internasional dengan adanya sedikit perbedaan, yaitu adanya penjelasan mengenai SHU (Sisa Hasil Usaha).


Setelah proklamasi peranan koperasi ditulis dalam konstitusi sehingga memiliki posisi politis strategis, kemudian pada tahun 1947 gerakan koperasi menyatukan diri dalam wadah gerakan koperasi, yang saat ini bernama Dekopin, yang berarti tahun ini usia organisasi gerakan koperasi ini sudah 61 tahun Dengan modal pengalaman selama lebih dari satu abad, dukungan politis dari negara dan wadah tunggal gerakan koperasi seharusnya koperasi Indonesia sudah bisa mapan sebagai lembaga ekonomi dan sosial yang kuat dan sehat. Tetapi kenyataan menunjukkan, koperasi yang dengan landasan konstitusi pernah didambakan sebagai “soko guru perekonomian nasional” itu, saat ini tidak mengalami perkembangan yang berarti, sehingga amat jauh ketinggalan dari koperasi-koperasi di negara-negara lain, termasuk koperasi di negara sedang berkembang.


Prinsip Koperasi
Di dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian disebutkan pada pasal 5 bahwa dalam pelaksanaannya, sebuah koperasi harus melaksanakan prinsip koperasi.
Berikut ini beberapa prinsip koperasi :
1.Keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka.
2. Pengelolaan koperasi dilakukan secara demokratis.
3.Sisa hasil usaha (SHU) yang merupakan keuntungan dari usaha yang dilakukan oleh koperasi dibagi berdasarkan besarnya jasa masing-masing anggota.
4.Modal diberi balas jasa secara terbatas.
5.Koperasi bersifat mandiri

Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Meningkatnya jumlah koperasi menjadi 2 kali lipat ini pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan  terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui koperasi.
Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

Perkembangan koperasi di Indonesia pada masa sekarang banyak mengalami peningkatan. Jumlah koperasi primer tingkat nasional mencapai 873 unit dan koperasi sekunder menjadi 165 unit. Sedangkan total koperasi Indonesia yang tersebar di seluruh Indonesia sebanyak 149.793 Koperasi, jumlah yang tidak sedikit. Secara Jumlah ini memang cukup luar biasa tetapi secara kualitas masih jauh dibawah usaha-usaha kapitalis apalagi jika dibandingkan dengan koperasi internasional, selain itu pada tahun 2008 jumlah koperasi berkualitas mencapai 42.267.

sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Koperasi
http://sharlitasara.blogspot.com/2011
http://dhiasitsme.wordpress.com/2011/10/06/kondisi-perkoperasian-di-indonesia/

Sabtu, 19 November 2011

Sejarah Koperasi Ranu Triya


PENDAHULUAN

Koperasi Ranu Triya adalah koperasi yang didirikan di lingkungan Perusahaan CV. Ranu Triya yang anggota-anggotanya terdiri atas Staf dan Karyawan.

Tujuan Koperasi Ranu Triya
Tujuan koperasi  Ranu Triya adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tata perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sedangkan pembentukan koperasi Ranu Triya di kalangan staf dan karyawan dilaksanakan dalam rangka menunjang kesejahteraan taraf hidup.

Dasar-Dasar Pertimbangan Pendirian Koperasi Ranu Triya
1. Menunjang program pembangunan pemerintah di sektor perkoperasian
2. Menumbuhkan kesadaran berkoperasi di kalangan staf dan karyawan
3. Membina rasa tanggung jawab, disiplin, setia kawan, dan jiwa koperasi.
4. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berkoperasi, agar kelak berguna di masyarakat.
5. Membantu kebutuhan staf dan karyawan serta mengembangkan kesejahteraan staf dan karyawan di dalam dan luar perusahaan.

 ISI

SEJARAH BERDIRINYA KOPERASI
• Koperasi ini berdiri pada tanggal 22 April 2011
• Diresmikan oleh Ibu Fitria Aslama (sebagai Penanggung jawab)
VISI & MISI
• Memajukan kesejahteraan anggota
• Melatih staf dan karyawan terampil berwiraswasta dengan koperasi Ranu Triya

Perangkat Organisasi Koperasi Ranu Triya
• Rapat anggota koperasi Ranu Triya
• Pengurus koperasi Ranu Triya
• Pengawas koperasi Ranu Triya

PENUTUP

Demikian hasil survey kelompok kami mohon maaf apabila ada kekurangan informasi karena keterbatasan waktu dan informasi.

Koperasi Simpan Pinjam

KOPERASI SIMPAN PINJAM

Koperasi sebagai wadah pemberdaya ekonomi rakyat, diakui atau tidak sudah semakin redup dan cenderung akan sirna. Padahal para pendiri Republik ini telah memeteraikan koperasi dalam UUD 1945 sebagai bangun usaha yang paling tepat untuk menyelenggarakan perekonomian negara. Orde reformasi telah melepaskan meterai koperasi tersebut dari UUD 1945 melalui TAP MPR RI.
Bila dituntut dari perspektif sejarah koperasi Indonesia, maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa koperasi Indonesia lahir dan bertumbuh dari "proses simpan pinjam". Artinya, koperasi yang ada saat ini diawali dari adanya kegiatan simpan pinjam yang kemudian berkembang dengan memiliki berbagai unit bisnis lain. Dalam perkembangannya, koperasi tanpa ada unit simpan pinjamnya akan terasa hambar. Ini menandakan sudah terbentuk suatu budaya dalam koperasi bahwa unit bisnis simpan pinjam harus tetap melekat pada diri setiap koperasi.
Dari catatan sejarah tersebut dapat diambil hipotesis bahwa Koperasi Simpan Pinjam ataupun Unit Simpan Pinjam adalah merupakan embryo berkembang-mekarnya suatu koperasi. Koperasi jika kualitas embryonya sangat rendah, maka pertumbuhan berikutnyapun jangankan sebagai tulang punggung atau soko guru perekonomian nasional, mengurus dirinyapun dia sudah tidak mampu. Oleh sebab itu, bisnis simpan pinjam yang menjadi embryo untuk berkembang tidaknya suatu koperasi, seyogyanyalah jangan sampai salah urus selama tahap perkembangannya.

Paradigma Koperasi Simpan Pinjam 
Koperasi  harus ikut berubah bilamana ingin maju dan berkembang. Sejarah koperasi Indonesia sudah mencatat bahwa maju berkembangnya koperasi diawali dengan berkualitas tidaknya proses simpan-pinjam di koperasi tersebut. Ingat bukan "pinjam -simpan". Bertitik tolak dari pandangan (point of view) yang demikian, maka sangat wajar harus didukung penuh kebijakan Menteri Koperasi dan UKM Alimarwan Hanan yang saat ini sedang bergelut dan berupaya untuk merevitalisasi Koperasi Simpan Pinjam ataupun Unit Simpan Pinjam. Adanya rencana kebijakan merevitalisasi 150 KSP dengan suntikan modal sebesar Rp. 1 milyard per KSP pada program tahun 2004 harus dioptimalkan, sehingga sejak dini perlu dicermati secara hati-hati. Peristiwa dilahirkannya koperasi-koperasi demi "suksesnya" penyaluran KUT kiranya dapat dijadikan suatu kontemplasi yang hasil akhirnya ternyata kurang menggembirakan bagi pertumbuhan koperasi itu sendiri.
Oleh sebab itu, paradigma revitalisasi KSP dan atau USP harus dipandang dalam rangka menggerakkan ekonomi nasional secara bersama. Disini peran KSP/USP sangat strategis terutama untuk melayani permodalan ataupun menampung simpanan/deposito para Usaha Kecil  Konsequensinya, apa yang dikatakan oleh Prof.Dr.Jochen Ropke, dalam bukunya "The Economic Theory of Cooperatives" dari Philipps University Marburg Germany, menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut di atas. Dikatakan, dalam menggunakan definisi koperasi harus hati-hati dan jangan terlalu banyak mengambil pengertian dari definisi koperasi yang berdasarkan pada kriteria identitas ( owners = customers = users). 
Jadi paradigma pemberdayaan KSP/USP kedepan harus menetapkan segmen pelayanannya. Dengan mengutip data BPS Kementerian Koperasi & UKM (2002), jumlah Unit Kerja ada sebanyak 40.137.773 unit. Ini berarti jumlah UK yang menjadi segmen pelayanan KSP/USP dapat diproyeksikan kurang lebih 54% atau sebanyak 22.000.000 Unit. Sedangkan UM yang dilayani diproyeksikan 5% atau sekitar 2.800 unit. Ada 3 dasar utama bagi KSP/USP mengapa Usaha Kecil saja yang menjadi domain pelayanan KSP/USP.
1.     Usaha Kecil tidak begitu membutuhkan modal kerja maupun investasi yang cukup besar.
2.     Usaha Kecil lebih dominan menggunakan sumber daya lokal sehingga tidak begitu berpengaruh terhadap fluktuasi valuta asing. Faktor ini mengakibatkan usaha kecil lebih stabil, sehingga pembayaran cicilan pinjaman pun relatif akan lebih pasti.
3.     Usaha Kecil masih memiliki budaya malu bila mereka tidak membayar utangnya.

Sekali lagi, memang diakui bahwa paradigma yang ditawarkan tersebut di atas akan mengalami benturan dengan definisi KSP/USP yang telah terkristalisasi dalam benak masyarakat kita termasuk para pembinanya. Secara sederhana, koperasi yang menerima simpanan-simpanan dan deposito dari para anggotanya serta memberikan pinjaman bagi anggota yang sarna hanya itulah yang disebut KSP.  


Konflik Kepentingan 
Asumsikan bahwa kendala legalisasi tidak ada masalah bila KSP/USP diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat luas koperasi (tidak hanya terpaku lagi dari anggota), maka dapat diproyeksikan akan terjadi konflik kepentingan antara anggota dengan non anggota . Sebagai anggota KSP/USP ada 3 peran yang dimilikinya yaitu
1) sebagai pemilik (owner), maka dia berkewajiban, menjaga kelangsungan hidup koperasinya. Untuk itu anggota harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan KSP/USPnya,
2) sebagai pelanggan (customers) maka dia berhak mendapatkan pelayanan prima dari koperasinya. Dari sisi ini, tuntutan agar KSP/USPnya memprioritaskan pelayanan kepada mereka adalah wajar.
3) sebagai pengguna (user) maka dia berhak untuk   menentukan arah program KSP/USPnya.
Disisi lain, non anggota sebagai investor di KSP juga berhak mendapatkan pelayanan yang maksimal atau memperoleh manfaat yang tinggi dari koperasi. Bila tidak demikian mereka (non anggota) tidak akan mau berpartisipasi di KSP/USP. Mereka akan memilih bank sebagai tempat menyimpan uangnya ataupun berinvestasi dengan badan usaha non Koperasi/KSP/USP.
Belum lagi dikaitkan dengan misi pemerintah dimana KSP/USP diharapkan sebagai lembaga non bank ataupun lembaga keuangan mikro (LKM) yang mampu menghimpun dan menyalurkan dananya ke UKM-UKM. Semua kepentingan tersebut akan mengalami benturan di lapangan manakala kebutuhan salah satu unsur tidak terpenuhi.
Ketiga kepentingan tersebut dapat saja bersamaan atau bersinggungan satu sama lain, walaupun mungkin juga terjadi tumpang tindih pada tingkat tertentu. Barangkali ini yang disebut "pura-pura harmonis", dimana sebenarnya secara hakiki terjadi konflik kepentingan yang sama.
Perlu disadari bahwa koperasi adalah merupakan struktur kompleks yang terdiri dari sejumlah individu atau kelompok yang berbeda, yang memiliki kepentingan yang tidak selamanya harmonis. Kepentingan individu dan kemampuan personal untuk memanfaatkan fasilitas koperasi juga berlainan. Ditinjau dari sudut ini, maka koperasi yang keanggotaannya atau kelompok partisipantnya lebih heterogen, akan memiliki potensi lebih tinggi terjadinya konflik.
Perspektif KSP/USP yang berorientasi tidak lagi hanya kepada anggota tetapi juga non anggota akan menambah tingkat keheterogenan di koperasi. Konsequensinya, situasi demikian akan meningkatkan koflik. Sumberdaya organisasi untuk mengatasi masalah itupun akan lebih banyak digunakan. Secara tidak langsung akan menciptakan de-efisiensi di KSP/USP. Oleh sebab itu, untuk meminimalkan biaya konflik -mau tidak mau -membutuhkan pengawasan yang ketat dan transparant dari pemerintah. Karena dengan demikianlah akan terbangun kepercayaan stakeholders khususnya yang non anggota mau menginvestasikan modalnya ke KSP/USP dan terpeliharanya harmonisasi kepentingan di KSP/USP. 

Insentif Anggota 
Potret kinerja struktur permodalan koperasi yang telah dipaparkan di atas tentu tidak jauh perbedaannya dengan gambaran KSP/USP di lapangan. Amatan penulis menyimpulkan bahwa secara umum KSP/USP juga mengalami kesulitan dalam menghimpun dana dari anggotanya. Apalagi dari non anggota? Salah satu faktor penyebabnya adalah bahwa pelayanan KSP/USP kepada anggota dan non anggota tidak begitu dibedakan. Kalaupun ada insentif kepada anggota relatif sama dengan yang diterima non anggota. Padahal biaya pengorbanan anggota dalam bentuk tuntutan partisipasi sebagai pemilik jelas lebih tinggi daripada non anggota. Situasi yang demikian kurang memotivasi anggota untuk aktif berpartisipasi menabung atau mendepositiokan uangnya di Koperasi/KSP/USP.

Perlu direnung ulang bahwa seseorang mau berpartisipasi di koperasi bila dia akan memperoleh nilai manfaat lebih besar dari pada nilai pengorbanannya (Iihat Kurva Nilai Manfaat dan Partisipasi).
Nilai manfaat dapat diukur dari berbagai variable seperti berupa insentif, SHU yang dibagi, bunga simpanan yang lebih tinggi, pelayanan yang lebih cepat, jaminan simpanan yang pasti, dan atau hak-hak lain.
Perlu dipahami bahwa partisipasi adalah merupakan alat untuk memuaskan kebutuhan para stakeholders (anggota, non anggota/ deposant, dan pemerintah). Memang masih perlu dikaji ulang, apakah berkorelasi positif hubungan partisipasi dengan nilai manfaat yang diperoleh oleh anggota dan non anggota ? Secara teoritis, jawabannya ya. Misalkan anggota baik sebagai pemilik maupun pengguna merasa terpuaskan oleh pelayanan KSP/USP berupa nilai manfaat yang diperoleh, maka anggota tersebut akan terus memberikan partrisipasinya berupa modal dan non modal di KSP/USP. Seiring dengan hal itu, pemerintah atau non anggotapun demikian halnya. Pemerintahpun akan terus meningkatkan modal penyertaannya di KSP/USP sepanjang KSP/USP mampu memobilisasi ekonomi rakyatmelalui UK-UK yang ada sehingga rakyat semakin sejahtera.
 Dari perspektif teori berpartis insentif, siklus simpan dulu baru pinjam akan terus mengalir selama proses insentif ini mampu memuaskan anggota maupun non anggota besar . Jika menganut strategi menghimpun modal dari anggota, maka insentif keanggotaan harus lebih signifikan daripada yang non anggota. Dan menurut penulis, untuk daerah pedesaan (rural) strategi ini masih yang terbaik dioptimalkan oleh KSP/USP. Sedangkan untuk daerah perkotaan (urban) KSP/USP sudah harus melakukan ekstensifikasi pelayanan kepada non anggota.

Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa selama KSP/USP dapat memuaskan kebutuhan anggota maupun non anggota kepentingan umum maka tingkat partisipasi mereka akan tetap tinggi. Untuk menjaga partisipasi yang tinggi ini, maka keunggulan kompetitif KSP/USP menjadi masalah sentral yang penting. Setidaknya, manfaat keunggulan KSP/USP minimal sama dengan yang diberikan pesaing ~non koperasi. Untuk itu, teori "harmonisasi" yaitu menseimbangkan kepentingan para stakeholders dan teori "konflik" yaitu mengoptimalkan sumberdaya internal dan ekternal demi kepentingan KSP/USP perlu diterapkan di KSP/USP.
.



Sumber : http://smecda.com