Sabtu, 03 Desember 2011

Struktur Koperasi Indonesia dan Sumber Dana pada Koperasi

Struktur Koperasi Indonesia dan Sumber Dana pada Koperasi

 

struktur koperasi
struktur koperasi

Sumber modal koperasi

Seperti halnya bentuk badan usaha yang lain, untuk menjalankan kegiatan usahanya koperasi memerlukan modal. Adapun modal koperasi terdiri atas modal sendiri dan modal pinjaman.
Modal sendiri meliputi sumber modal sebagai berikut:
  • Simpanan Pokok
Simpanan pokok adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan oleh anggota kepada koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota koperasi. Simpanan pokok jumlahnya sama untuk setiap anggota.
  • Simpanan Wajib
Simpanan wajib adalah jumlah simpanan tertentu yang harus dibayarkan oleh anggota kepada koperasi dalam waktu dan kesempatan tertentu, misalnya tiap bulan dengan jumlah simpanan yang sama untuk setiap bulannya. Simpanan wajib tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota koperasi.
  • Simpanan khusus/lain-lain misalnya:Simpanan sukarela (simpanan yang dapat diambil kapan saja), Simpanan Qurba, dan Deposito Berjangka.
  • Dana Cadangan
Dana cadangan adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan Sisa Hasil usaha, yang dimaksudkan untuk pemupukan modal sendiri, pembagian kepada anggota yang keluar dari keanggotaan koperasi, dan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan.
  • Hibah
Hibah adalah sejumlah uang atau barang modal yang dapat dinilai dengan uang yang diterima dari pihak lain yang bersifat hibah/pemberian dan tidak mengikat #sumber http://fachrizal31.wordpress.com

Koperasi Indonesia vs Koperasi Luar Negeri

Koperasi Di Indonesia

Kini koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Yaitu Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD,lalu Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan, Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang.

Kemudian dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru.

Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian.

Perkembangan Koperasi Di luar negri

Perkembangan koperasi di dunia sangat pesat contohnya perkembangan Perkoperasiaan di Johor mengalami perkembangan yang tumbuh dengan pesat. Bahkan sejumlah tokoh koperasi nasional di Malaysia mengawali karir koperasi di Johor.

Dengan berdirinya koperasi yang di beri nama Syarikat Bekerjasama-sama Kampung Tebuk Haji Musa. Perkembangan koperasi di Malaysia tepatnya di negara bagian johor begitu tumbuh pesat ini tidak terlepas dari manajemen yang rapi serta dukungan dari pemerintah malasyia, demi memajukan koperasi di negara tersebut. Selain faktor tersebut ada yang menyebabkan perkembangan koperasi di Malaysia mengalami pertumbuhan yang pesat ini dikarenakan negara bagian johor cukup strategis dalam peta perekonomian Malaysia, dan juga Malaysia sangat berdekatan atau hanya dipisahkan selat sempit dengan Singapura, salah Satu Magnet Perekonomian Asia rupanya dimanfaatkan betul oleh pemerintah negara bagian Johor, akibatnya pertumbuhan ekonomi Johor turut terpacu. saatini setidaknya ada 440 koperasi di Johor dengan jumlah anggota sekitar 350,000 orang, dan total aset senilai RM 420 juta dengan simpanan tunai sekitar RM 141 juta. Dengan dukungan pemerintah Malaysia dalam pembangunan koperasi juga cukup kuat. Seperti halnya di Indonesia, pemerintah Malaysia menyediakan bantuan dana dan teknis dan pendidikan kepada kalangan koperasi. Setiap tahun, pemerintah juga memberikan penghargaan kepada koperasi berprestasi. Penghargaan tahun ini dianugerahkan kepada koperasi Perumahan Kluang Berhad sebagai koperasi yang berkualitas se Johor. Penghargaan juga diberikan kepada Prof Madya Mohammad Ali Hasan sebagai Tokoh koperasi Johor 2005.

  • Bagaimana perkembangan koperasi di luar negeri sekarang ini ?


Yayasan pengembangan koperasi di luar negeri mengumpulkan amal dana bagi kemajuan pembangunan ekonomi melalui usaha koperasi.
The Cooperative Development Foundation , Koperasi yang terdapat di luar negeri sekarang ini, pertama kali dikembangkan pada saat perang dunia ke 2. Pertama dikenal sebagai Dana Kebebasan, organisasi membantu dalam rekonstruksi dan pengembangan koperasi di luar negeri di Eropa pada era pasca-perang. Hingga saat ini Yayasan Pengembangan Koperasi (CDF) merupakan yayasan yang mempunyai misi untuk mempromosikan masyarakat, ekonomi, dan pembangunan sosial melalui koperasi. Serta memberikan beasiswa untuk staf dan direksi pelatihan bagi anggotanya, pembiayaan pembangunan dari dana pinjaman bergulir untuk proyek perumahan yang terjangkau senior koperasi, baik di perkotaan dan pedesaan, pembiayaan dari dana pinjaman bergulir untuk pembelian atau perbaikan perumahan koperasi mahasiswa, Hibah penghargaan untuk studi kelayakan dan bantuan teknis untuk prakarsa pembangunan inovatif co-op yang memenuhi kebutuhan lansia di pedesaan Amerika, juga membantu para korban bencana alam seperti, Menanggapi bencana alam baru-baru ini, untuk pemulihan ekonomi dari Badai Katrina dan Tsunami Asia Selatan. CDF baru-baru ini menambahkan dana Beasiswa dalam enam bulan terakhir, Ini adalah dana pendidikan yang diarahkan untuk memastikan bahwa generasi muda bisa menjadi pemimpin koperasi. Acara tahunan CDF, upacara yang menghormati pahlawan Koperasi masing-masing dan setiap tahun. Acara ini tidak hanya menyebar ajaran kerjasama di seluruh bangsa, tetapi berfungsi sebagai penggalangan dana besar bagi CDF, juga meningkatkan uang untuk usaha mereka dalam pengembangan koperasi dengan ras tahunan mereka yang diselenggarakan 5 kali kadang selama bulan oktober. Yayasan pengembangan koperasi di luar negeri mengumpulkan amal dana bagi kemajuan pembangunan ekonomi melalui usaha koperasi.


#sumber http://bungajail.blogspot.com
http://wartawarga.gunadarma.ac.id

Revitalisasi Tata Kelola Koperasi: Upaya Membangun Koperasi yang Sehat dan Kompetitif

Secara kuantitatif pada 2010, koperasi di Indonesia mencapai 124.855 unit aktif. Ditambah berbagai organisasi gerakan pendukung lainnya, praktis secara kelembagaan sudah cukup terpenuhi. Dengan potensi sebesar itu, mengapa sampai saat ini koperasi di Indonesia belum juga mampu menunjukkan giginya? Dan bagaimana seharusnya?
Ada diktum tak tertulis di gerakan koperasi, “Salah mendesain visi organisasi, akan salah membangun usaha koperasi”. Diktum ini mengisyaratkan pentingnya sumber daya manusia daripada sumber daya finansial. Ini merupakan konsekuensi logis koperasi sebagai kumpulan orang, bukan modal.
Sebagai kumpulan orang yang berusaha bersama, koperasi merupakan social business (Davis, 2010). Dalam social business terkandung nilai keadilan, pemerataan dan pemberdayaan. Koperasi muncul bukan sebagai perusahaan pengejar laba, melainkan economic and social redistributive enterprise. Yakni sebagai pemberi manfaat kepada anggota dalam bentuk ekonomi juga sosial.
Operasionalisasi Nilai
Operasionalisasi nilai, prinsip dan tujuan koperasi pada akhirnya berada di tangan pengurus dan pengelolanya. Orang-orang kunci tersebut merupakan—meminjam istilah New Public Service Paradigm—adalah para manajer publik. Menurut Denhardt (2007) sekurang-kurangnya ada tujuh hal yang perlu diperhatikan oleh para manajer publik, sebagai berikut:
1. Serve citizens, not customers.
2. Seek the public interest.
3. Value citizenship over entrepreneurship.
4. Think strategically, act democratically.
5. Recognize that accountability isn’t simple.
6. Serve rather than steer.
7. Value people, not just productivity.
Dalam konteks koperasi, poin pertama mengisyaratkan orientasi pelayanan kepada anggota. Menurut Munkner (1995) usaha koperasi melayani minimal 60% anggotanya dan maksimal 40% kepada selain anggota. Di Indonesia naasnya praktika yang berkembang koperasi lebih banyak melayani non-anggota. Praktika menyimpang ini misalnya menjamur pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
Pada poin kedua, ada contoh bagus bagaimana Bank Koperasi Inggris Raya pada 1992 memasukkan kebijakan etika yang didukung 84% anggotanya. Kebijakan etika tersebut misalnya bahwa koperasi tidak membiayai usaha yang mempekerjakan anak, memperdagangkan senjata dan hewan-hewan yang dilindungi. Juga tidak membiayai usaha yang merusak lingkungan dan sebagainya. Menariknya, pasca kebijakan tersebut digulirkan, kepercayaan anggota meningkat dan mencetak keuntungan di luar harapan sebelumnya (Djohan, 2011). Pengalaman Bank Koperasi Inggris Raya tersebut menunjukkan bagaimana kepedulian anggota terhadap isu tertentu berpengaruh signifikan kepada usaha koperasi.
Poin ketiga menjelaskan tentang pentingnya mengelola anggota bukan sekedar usaha. Anggota tidak boleh hanya dimaknai sebatas “penanam saham” layaknya perusahaan swasta. Anggota harus dipahami secara penuh sebagai homo cooperativus yang membutuhkan sentuhan sosial-emosional, bukan sekedar tactical business semata. Anehnya, perusahaan swasta selangkah lebih maju memahami hal ini dengan membangun berbagai komunitas untuk para pelanggan.
Poin keempat mengisyaratkan keluwesan sistem. Kebijakan strategis seharusnya tak mengurangi ruang demokrasi dalam koperasi. Dengan infrastruktur teknologi terkini, hal ini akan semakin mungkin dan mudah dilaksanakan. Misalnya melalui SMS Broadcast, situs jejaring sosial dan lainnya. Perangkat teknologi tersebut dapat digunakan untuk menyerap aspirasi dan atau menyebarluaskan kebijakan tertentu kepada anggota.
Poin kelima, memang harus dipahamkan kepada pengurus dan pengelola koperasi bahwa pertanggungjawaban bukan masalah sederhana. Dalam konteks ini, sekurang-kurangnya Rapat Anggota Tahunan merupakan mekanisme yang harus ada. Dan sayangnya, dari 124.855 koperasi di Indonesia, hanya 55.818 koperasi yang menyelenggarakan rapat anggota secara rutin. Rapat anggota juga perlu dipahami bukan sebatas ritual tahunan, melainkan juga media edukasi anggota.
Poin keenam menunjukkan bagaimana kewajiban utama pengurus dan pengelola koperasi adalah melayani anggota. Bukan sebaliknya, membawa dan mengarahkan koperasi sesuka hati manajemen. Oleh Davis (2010), praktik menyimpang itu disebut sebagai “manajerialisme”. Artinya, manajemen menggunakan kekuatan internalnya untuk meswastanisasi koperasi dan sering dalam prosesnya memperkaya pengurus atau pengelolanya.
Poin ketujuh, pengurus atau pengelola koperasi harus memperhatikan manajemen sumber daya manusia karyawan. Agar para karyawan bekerja dengan “hati”, bukan sekedar “tangan”. Manning (2002) mengingatkan, ideologi sangat berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan. Dan di sinilah pentingnya membumikan nilai koperasi kepada mereka secara proporsional.
Tata Kelola Berbasis Nilai
Dalam perkembangannya, koperasi melahirkan dan mempraktekkan tata kelola khusus yang berbeda dengan tata kelola perusahaan/ organisasi lainnya. Tata kelola tersebut merupakan turunan dari identitas, nilai dan prinsip koperasi.
Koperasi berbeda dengan bangun usaha swasta atau organisasi lainnya. Perbedaan terletak pada nilai dan tujuan adanya (raison d’etre). Akhirnya pada 1998, ICA mengeluarkan Value Based Professional Management (Djohan, 2003).
Tata kelola profesional berdasar nilai menitikberatkan pada proses, fungsi dan sistem koperasi. Dan untuk memastikan kesinambungan koperasi yang berbasiskan anggota, berorientasi pada komunitas dalam pasar yang kompetitif. Menurut Ibnoe Soejdono (Djohan, 2003), ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
Tata kelola koperasi terkait dengan proses, fungsi dan sistem selalu mendasarkan diri pada jati diri koperasi; Kekuatan koperasi bersumber pada anggota-anggotanya dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan-aspirasi ekonomi, sosial dan budaya anggota; Koperasi sebagai produk dari lingkungannya harus berorientasi kepada kepentingan lingkungan atau komunitasnya; Dan keempat, koperasi bekerja dalam pasar oleh karenanya harus memiliki daya saing cukup besar untuk dapat hidup berkesinambungan.
Penelitian Ake Book (1992), menemukan banyak pengelolaan koperasi terbawa ke arah capital based association. Banyak di antara mereka menggunakan tata kelola yang tak sesuai dengan identitas, nilai dan prinsip koperasi sehingga mengalami kerusakan (Djohan, 2003).
Berharap pada Orang Kunci
Di antara berbagai agenda, salah satu yang penting adalah membenahi tata kelola koperasi. Dengan tujuh kerangka model New Public Service dan empat acuan tata kelola berbasis nilai, sangat mungkin koperasi hidup sehat dan tetap kompetitif.
Koperasi yang hidup di tengah pasar terbuka mau tidak mau harus mengambil sikap; Berubah atau kehilangan ruh dan membusuk. Perlu ditempuh pendekatan lain, bukan dengan kucuran dana atau guyuran fasilitas, melainkan mengembalikan koperasi kepada khittah-nya; Koperasi adalah kumpulan orang.
Sebagai kumpulan orang, agenda terdekat sekurang-kurangnya adalah menyegarkan kembali pola pikir dan sikap orang-orang kunci di dalamnya. Dan di tangan para pengelolanya lah hakikat kehidupan koperasi. Karena mereka, diakui atau tidak, bak Nabi yang menafsir teks suci. Dan dengan tongkatnya membawa bahtera mengarungi samudera luas.
Terakhir hukumnya adalah “Palma non sine pulvere!”. Bahwa tak akan ada kemenangan tanpa jerih payah!

#sumber www.google.com

Mengangkat Kesejahteraan Guru Lewat Koperasi

Sosok H. Choedri St Marajo berjasa besar mengangkat kesejahteraan guru di Payakumbuh Utara, Sumatera Barat. Berawal dari idenya mendirikan koperasi guru, nasib para pendidik di sana kini jauh lebih baik.

koperasiPenghasilan para guru belum sepenuhnya baik, terutama para guru yang tinggal di luar Pulau Jawa. Mereka masih berkutat dengan kesulitan hidup, terjepit di antara kewajiban mulia mencerdaskan bangsa dan memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Tak jarang, lantaran penghasilan yang belum mencukupi,berbagai hal dilakukan para guru yang tinggal di sana. Beragam profesi sambilan dilakukan, entah menjadi guru privat,berdagang, hingga profesi lain. Situasi tersebut ternyata menggelitik hati Choedri St Marajo. Dengan niat ingin mengangkat kesejahteraan para guru di sekitar Payakumbuh Utara, Choedri memiliki ide untuk mendirikan koperasi. Koperasi yang akan melayani kebutuhan para guru demi menunjang kehidupan mereka. Ide tersebut dilontarkan sosok yang juga seorang guru di sebuah sekolah di Payakumbuh Utara ini. Saat itu dia terpilih menjadi Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di wilayahnya.

Sebagai ketua PGRI Payakumbuh Utara yang baru, Choedri memandang harus ada yang berubah dari organisasi guru tersebut. Bagi Choedri, PGRI sebagai organisasi milik para pejuang pendidikan mesti mengubah wajah menjadi sebuah organisasi produktif yang mampu mengangkat kesejahteraan anggota. “Saya kok melihat organisasi ini baru ada kegiatan kalau ada kongres. Setelah kongres selesai, semua seakan tidur kembali dan baru bangun lima tahun kemudian, ketika kongres berikutnya diselenggarakan,” ujarnya. Choedri lantas membuat terobosan.

Setelah berdiskusi dengan sejumlah rekan, akhirnya diputuskan untuk mendirikan koperasi yang bertujuan membantu kehidupan para anggotanya. Ide yang dilontarkan Choedri ternyata mendapat respons positif. Pada 12 Juni 1974 berdirilah Koperasi Pegawai Republik Indonesia Guru-Guru Payakumbuh Utara (KPRI Gurupaya). Awalnya unit usaha KPRI Gurupaya hanya melayani usaha simpan pinjam. Unit usaha ini dirasa perlu karena memberikan manfaat positif bagi para anggota, terutama mereka yang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Respons awal atas usaha simpan pinjam KPRI Gurupaya ternyata luar biasa. Sejak diumumkan adanya usaha tersebut, para guru yang mendaftar langsung banyak.

Para anggota memanfaatkan usaha simpan pinjam untuk berbagai keperluan, dari biaya anak sekolah, mendirikan rumah, atau untuk merintis usaha. Unit usaha ini terbagi dalam dua kategori,yakni pinjaman reguler dan insidental. Choedri menerangkan, untuk pinjaman reguler para anggota KPRI Gurupaya, baik anggota kalangan guru maupun masyarakat biasa, bisa memanfaatkannya kapan saja. Pinjaman insidental akan diberikan kepada anggota untuk dana-dana darurat mendesak, seperti biaya sekolah yang kadang membutuhkan dana sesegera mungkin. Banyaknya anggota yang merespons positif usaha simpan pinjam tersebut membuat KPRI Gurupaya cepat berkembang. Tak berselang lama koperasi melebarkan usahanya dengan mendirikan unit usaha warung serbaada (waserda), percetakan, fotokopi, jasa pelayanan pembayaran rekening listrik, dan PDAM.

Semua unit usaha tersebut menempati tiga ruko yang merupakan milik koperasi. Seiring unit usaha yang beragam, para anggota pun semakin mendapat kemudahan. Kalau awalnya mereka bisa melakukan simpan pinjam saja, kini semua kebutuhan dapat dipenuhi usaha koperasi. “Pengembangan unit usaha koperasi tak lepas dari semakin banyaknya anggota dan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada kami,” ujar Choedri. Dengan anggota yang kini mendekati angka 3.000, KPRI Gurupaya terbilang mengalami kemajuan mengagumkan. Asetnya, hingga akhir 2009, diperkirakan telah mencapai Rp30 miliar. Keuntungan bersih yang diraihnya pun setiap tahun terus meningkat. Jika pada 2008 hasil usaha bersihnya naik 40% dibanding 2007 menjadi sekitar Rp347 juta, pada 2009 kembali naik 59% menjadi Rp555 juta. “Kami tidak terpengaruh oleh krisis global. Bahkan tahun lalu kinerja kami malah mengalami peningkatan,” kata Choedri, Ketua KPRI Gurupaya.

Tingginya laba yang diperoleh semakin memudahkan KPRI Gurupaya mengembangkan usaha. KPRI Gurupaya kini tengah merintis bisnis kaveling tanah dan perumahan. Usaha ini dirasa perlu mengingat kebutuhan tempat tinggal dengan harga terjangkau dan murah yang diinginkan para anggota. Usaha ini kembali mendapat respons positif. Tercatat, hingga akhir tahun 2009, sudah 11 kaveling yang terjual pada anggota. Menurut Choedri, koperasi yang dipimpinnya berencana membangun sejumlah perumahan bagi anggota yang membutuhkan dengan sistem pembayaran diangsur seperti kredit kepemilikan rumah (KPR) perbankan.

Demi merealisasikan rencana ini, dibutuhkan modal tambahan lumayan besar. Dari perhitungan pengurus koperasi, Choedri mencatat setidaknya dibutuhkan dana sekitar Rp10 miliar. Kebutuhan ini akan dipenuhi dari dana milik sendiri (simpanan anggota) sebesar Rp2,5 miliar; selebihnya, Rp7,5 miliar, dari Bank Negara Indonesia (BNI). Bagi KPRI Gurupaya,mencari pinjaman dari bank tampaknya bukan masalah sulit. Sudah lama koperasi ini menjalin hubungan yang saling percaya dengan perbankan. Tepatnya kredit mulai mengucur dari BNI ketika koperasi ini akan membangun kantor sendiri. Kepercayaan dari BNI semakin tebal karena KPRI Gurupaya menyerahkan seluruh urusan yang menyangkut dana tunai ke pihak bank.

Dengan kata lain, transaksi yang berupa setoran simpanan maupun pencairan pinjaman oleh anggota seluruhnya dilakukan di kantor BNI.Adapun pihak koperasi—yang memiliki 18 karyawan tetap—hanya melakukan pencatatan. Ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh dari penerapan sistem ini. Selain pegawai koperasi tak perlu repot mondar-mandir ke bank, risiko mendapat pembayaran berupa uang palsu pun menjadi nihil. Profesionalisme. Rupanya itulah kata kunci yang membuat KPRI Gurupaya dapat terus maju berkembang menyejahterakan anggotanya.

Sikap profesionalisme pula yang menjadikan KPRI Gurupaya mendapat berbagai penghargaan. Tak heran, kini KPRI Gurupaya menjadi acuan studi banding bagi koperasi-koperasi guru dari Sumatera Barat, Medan,Aceh, Jambi, dan Riau. (Sindo)


#sumber www.google.com

Rabu, 30 November 2011

Alasan Koperasi Sulit Berkembang si Indonesia

Alasan Koperasi Sulit Berkembang si Indonesia


  Pasang-surut Koperasi di Indonesia Koperasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang dan surut. Sebuah pertanyaan sederhana namun membutuhkan jawaban njelimet, terlontar dari seorang peserta. ? Mengapa jarang dijumpai ada Koperasi yang bertumbuh menjadi usaha besar yang menggurita, layaknya pelaku ekonomi lain, yakni swasta (konglomerat) dan BUMN? Mengapa gerakan ini hanya berkutat dari
persoalan yang satu ke persoalan lain, dan cenderung stagnan alias berjalan di tempat? Mengapa Koperasi sulit berkembang di tengah ?habitat? alamnya di Indonesia?? Inilah sederet pertanyaan yang perlu dijadikan bahan perenungan.Padahal, upaya pemerinta untuk ?memberdayakan? Koperasi seolah tidak pernah habis. Bahkan, bila dinilai, mungkin amat memanjakan. Berbagai paket program bantuan dari pemerintah seperti kredit program: KKop, Kredit Usaha Tani (KUT), pengalihan saham (satu persen) dari perusahaan besar ke Koperasi, skim program KUK dari bank dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial dari perbankan, juga ?paket program? dari Permodalan Nasional Madani (PNM), terus mengalir untuk memberdayakan gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan program, ada institusi khusus yangmenangani di luar Dekopin, yaitu Menteri Negara Urusan Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil Menengah), yang seharusnya memacu gerakan ini untuk terus maju. Namun,
kenyataannya, Koperasi masih saja melekat dengan stigma ekonomi marjinal, pelaku
bisnis yang perlu dikasihani, pelaku bisnis ?pupuk bawang?, pelaku bisnis tak
profesional.Masalah tersebut tidak bisa dilepaskan dari substansi Koperasi yang
berhubungan dengan semangat.


Dalam konteks ini adalah semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Jadi, bila koperasi dianggap kecil, tidak berperan, dan merupakan kumpulan serba lemah, itu terjadi karena adanya pola pikir yang menciptakan demikian.Singkatnya, Koperasi adalah untuk yang kecil-kecil, sementara yang menengah bahkan besar, untuk kalangan swasta dan BUMN. Di sinilah terjadinya penciptaan paradigma yang salah. Hal ini mungkin terjadi akibat gerakan Koperasi terlalu sarat berbagai embel-embel, sehingga ia seperti orang kerdil yang menggendong sekarung beras di pundaknya. Koperasi adalah ?badan usaha?, juga ?perkumpulan orang? Termasuk yang ?berwatak sosial?. Definisi yang melekat jadi memberatkan, yakni ?organisasi sosial yang berbisnis? atau ?lembaga ekonomi yang mengemban fungsi sosial.? Berbagai istilah apa pun yang melekat, sama saja, semua memberatkan gerakan Koperasi dalam menjalankan visi dan misi bisnisnya. Mengapa tidak disebut badan usaha misalnya, sama dengan pelaku ekonomi-bisnis lainnya, yakni kalangan swasta dan BUMN, sehingga ketiganya memiliki kedudukan dan potensi sejajar. Padahal, persaingan yang terjadi di lapangan demikian ketat, tak hanya sekadar pembelian embel-embel. hanya kompetisi ketat semacam itulah yang membuat mereka bisa menjadi pengusaha besar yang tangguh dan profesional.
Para pemain ini akan disaring secara alami, mana yang efisien dalam menjalankan bisnis dan mereka yang akan tetap eksis.Koperasi yang selama ini diidentikkan dengan hal-hal yang kecil, pinggiran dan akhirnya menyebabkan fungsinya tidak berjalan optimal. Memang pertumbuhan Koperasi cukup fantastis, di mana di akhir tahun 1999 hanya berjumlah 52.000-an, maka di akhir tahun 2000 sudah mencapai hampir 90.000-an dan di tahun 2007 ini terdapat koperasi di Indonesia. Namun, dari jumlah yang demikian besar itu, kontribusinya bagi pertumbuhan mesin ekonomi belum terlalu signifikan. Koperasi masih cenderung menempati ekonomi pinggiran (pemasok dan produksi), lebih dari itu, sudah dikuasai swasta dan BUMN. Karena itu,tidak aneh bila kontribusi Koperasi terhadap GDP (gross domestic product) baru sekitar satu sampai dua persen, itu adalah akibat frame of mind yangsalah.
Di Indonesia, beberapa Koperasi sebenarnya sudah bisa dikatakan memiliki unit usaha besar danberagam serta tumbuh menjadi raksasa bisnis berskala besar. Beberapa Koperasi telah
tumbuh menjadi konglomerat ekonomi Indonesia, yang tentunya tidak kalah jika
dibandingkan dengan perusahaan swasta atau BUMN yang sudah menggurita, namun
kini banyak yang sakit. Omzet mereka mencapai milyaran rupiah setiap bulan. Konglomerat yang dimaksud di sini memiliki pengertian: Koperasi yang bersangkutan sudah merambah dan menangani berbagai bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan merangsek ke berbagai bidang usaha-bisnis komersial.


Pernyataan Presiden tentang Koperasi di Indonesia:

Pekan lalu, di acara perayaan ulang tahun koperasi yang ke-60, Presiden mengatakan bahwa tidak ada tempat bagi sistem perekonomian berbasis kapitalisme dan neoliberalisme di Indonesia. Alasannya, kata Presiden, kedua ideologi tersebut tidak mampu menjamin kemakmuran bagi seluruh rakyat. Karena itu, Indonesia memilih ideologi terbuka yang berkeadilan sosial, dan koperasi merupakan wadah yang paling ideal.
Ketidakmakmuran yang dikemukakan Pre-siden di hadapan 7.000 anggota dan pengurus koperasi dari seluruh Indonesia adalah masalah ekonomi nasional, yang tentu tak ada sangkut-pautnya dengan paham atau sistem ekonomi. Oleh sebab itu, pernyataan Presiden itu harus kita artikan sebagai sikap keberpihakan pemerintah terhadap koperasi, yang sejak krisis ekonomi 1998 memang kurang mendapat perhatian.
Adapun soal ketidakmakmuran rakyat yang semakin memprihatinkan di negara ini, tidak mudah kita kaitkan dengan koperasi. Kalau mau realistis, harus diakui bahwa koperasi-koperasi kita masih jauh dari sehat dan belum siap memikul beban yang amat berat. Bahkan koperasi yang ada pun, ditaksir berjumlah 138.000, sekitar 30 persen di antaranya ”mati”. Jadi, langkah awal adalah menyehatkan koperasi yang ada. Jika upaya ini berhasil, maka langkah awal meningkatkan kesejahteraan rakyat sudah tercapai.

sumber:
http://yanifachturahman.blogspot.com
http://www.majalahtrust.com/indikator/teras/1417.php

Koperasi Menghadapi Era Globalisasi

Koperasi Menghadapi Era Globalisasi

Globalisasi Ekonomi

Globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan akan berlangsung terus dalam Iaju yang semakin pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi dan komunikasi sangat penting, yang dapat menyebabkan terjadinya penipisan batas-batas antar negara ataupun antar daerah di suatu wilayah.
Era globalisasi membuka peluang sekaligus tantangan bagi pengusaha Indonesia termasuk usaha kecil, karena pada era ini daya saing produk sangat tinggi, live cycle product relatif pendek mengikuti trend pasar, dan kemampuan inovasi produk relatif cepat. Ditinjau dari sisi ekspor, liberalisasi berdampak positif terhadap produk tekstil/pakaian jadi , akan tetapi kurang menguntungkan sektor pertanian khususnya produk makanan.
Kinerja ekspor UKM lebih kecil dibandingkan dengan negara tetangga seperti malaysia, Filipina dan UKM, baik dalam hal nilai ekspor maupun dalam hal divesifikasi produk. Ini menunjukkan ekspor produk UKM Iebih terkonsentrasi pada produk tradisional yang memiliki keunggulan komparatif seperti pakaian jadi, meubel.
Mengingat ketatnya persaingan yang dihadapi produk ekspor Indonesia termasuk UKM, maka Indonesia mengambil langkah-langkah strategis, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Langkah-langkah strategis jangka panjang diantaranya diarahkan untuk mengembangkan sumber daya manusia, teknologi dan jaringan bisnis secara global. Sedangkan langkah-langkah strategis jangka pendek diantaranya, melakukan diversifikasi produk, menjalin kerjasama dengan pemerintah dan perusahaan besar, produksi, memperkuat akses ke sumber-sumber informasi dan perbaikan mutu.



Koperasi di Era Globalisasi

Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) :
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain. Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan.

Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain. Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank. Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.

Kedua, koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain. Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat. Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit.

Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut. Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank. Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank. Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Jadi jelas terlihat bahwa Koperasi Indonesia masih sangat penting walaupun harus menghadapi era globalisasi dimana semakin banyak pesaing ekonomi yang bermunculan dari luar negeri dan walaupun seperti itu, Koperasi masih sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, selalu berusaha mensejahterakan rakyat Indonesia.
Seperti kata Presiden SBY
"Membangun ekonomi Indonesia dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak bisa hanya mengikuti model ekonomi negara lain. Yang bisa akhirnya menggangkat taraf hidup 240 juta di seluruh tanah air dari sabang sampai marauke, dari Miangas hingga Pulau Rote adalah ekonomi rakyat "
Jadi,koperasi tidak harus hilang berbaur atau mengikuti trend negara lain dan masih dapat berdiri dan menjalankan fungsi-fungsinnya selama ini.

sumber:
http://jaggerjaques.blogspot.com
www.google.co.id
wikipedia indonesia

Prospek Ekonomi Indonesia Tahun 2010 dan 2011

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6,0% pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 6,0-6,5% pada tahun 2011. Dengan demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula. “Di samping tetap kuatnya permintaan domestik, perbaikan terutama bersumber dari sisi eksternal sejalan dengan pemulihan ekonomi global, seperti terlihat dari ekspor yang mencatat pertumbuhan positif sejak triwulan IV-2009

Pemulihan ekonomi global sangat jelas terlihat dari berbagai indikator ekonomi baik di negara maju (Amerika Serikat dan Jepang) maupun di kawasan Asia (Cina dan India). Di Amerika Serikat, pemulihan tercermin pada pengeluaran konsumsi masyarakat yang terus menguat dan dibarengi peningkatan respon di sisi produksi. Sementara di Jepang, ditandai oleh pertumbuhan positif pada triwulan terakhir 2009. Di Cina dan India, indikasi pemulihan ekonomi lebih jelas terlihat sebagaimana tercermin pada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Berbagai perbaikan tersebut memberikan dampak positif bagi negara-negara yang menjadi mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

Pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor non migas Indonesia yang pada triwulan IV-2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17% dan masih berlanjut pada Januari 2010. Peningkatan ekspor tidak hanya terjadi pada komoditas pertambangan dan pertanian, tetapi juga ekspor komoditas manufaktur mulai mengalami peningkatan. Perkembangan ini mendukung pertumbuhan di sektor industri dan sektor perdagangan yang lebih tinggi dari perkiraan. Sementara itu, aktivitas impor sedikit meningkat sejalan dengan peningkatan ekspor tersebut, meskipun pada tingkat yang masih rendah. Transaksi berjalan di triwulan I-2010 diperkirakan mencatat surplus yang lebih besar dari perkiraan semula. Sementara itu, keyakinan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia yang semakin membaik tercermin pada surplus transaksi modal dan finansial yang masih cukup tinggi. Dengan berbagai perkembangan tersebut, untuk keseluruhan tahun 2010 surplus NPI diperkirakan lebih baik dari perkiraan semula. “Tinggal 1 notch lagi bagi Indonesia untuk mencapai investment grade, sehingga akan semakin memberikan keyakinan yang lebih besar bagi investor asing untuk meningkatkan investasinya di Indonesia”, jelas Hartadi menanggapi perbaikan sovereign rating Indonesia oleh Fitch menjadi BB+ dari semula BB beberapa waktu yang lalu.

Disamping kinerja ekspor yang membaik tersebut, kegiatan konsumsi swasta juga menunjukkan perbaikan. Hal ini dikonfirmasi oleh peningkatan berbagai indikator konsumsi seperti impor barang konsumsi, penjualan mobil dan motor, serta penjualan ritel. Ke depan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap meningkat sejalan dengan pendapatan yang lebih tinggi karena income effect dari perbaikan ekspor dan terjaganya tingkat keyakinan konsumen.

Di sisi harga, tekanan inflasi diyakini belum akan signifikan setidaknya pada semester I-2010. Perkembangan inflasi dalam 2 bulan pertama 2010 masih tetap terjaga pada tingkat yang rendah. Relatif terkendalinya inflasi juga tercermin pada perkembangan inflasi inti yang turun dari 4,43% (yoy) pada bulan Januari 2010 menjadi 3,88% (yoy) pada bulan Februari 2010. Kenaikan inflasi IHK di awal tahun 2010 terbukti bersifat temporer, terutama karena kenaikan harga beras, dan diperkirakan tidak akan terjadi lagi lonjakan harga dalam beberapa bulan ke depan seiring dengan telah datangnya musim panen di berbagai daerah. Kemungkinan kenaikan tarif TDL, apabila kemudian tetap diberlakukan, diperkirakan juga tidak akan menimbulkan dampak yang besar terhadap inflasi sepanjang diterapkan terutama pada kelompok pelanggan besar. Secara keseluruhan, inflasi ke depan diyakini akan tetap terjaga pada sasaran yang ditetapkan yakni 5%+1% pada tahun 2010 dan 2011. “Meskipun kegiatan ekonomi domestik meningkat

sumber : http://www.newsbanking.com/2010/09/prospek-ekonomi-indonesia-2010-2011.html

Koperasi Di Indonesia Saat Ini

Kondisi Perkoperasian di Indonesia


Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. (Koperasi inilah yang merupakan cikal bakal BRI).
Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan SDI. Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka toko-toko koperasi. Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” dan disingkat SKN.

Pada jaman Jepang, pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya.
Karena besamya aktivitas dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung.

Koperasi adalah Organisasi Bisnis yang dimiliki dan dioperasikan oleh beberapa orang demi kepentingan bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Di Indonesia, prinsip koperasi telah dicantumkan dalam UU No. 12 Tahun 1967 dan UU No. 25 Tahun 1992, Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 Pasal 4 dijelaskan bahwa koperasi memiliki fungsi dan peranan antara lain yaitu mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat, berupaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia, memperkokoh perekonomian rakyat, mengembangkan perekonomian nnasional, serta mengembangkan kreativitas dan jiwa berorganisasi bagi pelajar bangsa. Prinsip koperasi di Indonesia kurang lebih sama dengan prinsip yang diakui dunia internasional dengan adanya sedikit perbedaan, yaitu adanya penjelasan mengenai SHU (Sisa Hasil Usaha).


Setelah proklamasi peranan koperasi ditulis dalam konstitusi sehingga memiliki posisi politis strategis, kemudian pada tahun 1947 gerakan koperasi menyatukan diri dalam wadah gerakan koperasi, yang saat ini bernama Dekopin, yang berarti tahun ini usia organisasi gerakan koperasi ini sudah 61 tahun Dengan modal pengalaman selama lebih dari satu abad, dukungan politis dari negara dan wadah tunggal gerakan koperasi seharusnya koperasi Indonesia sudah bisa mapan sebagai lembaga ekonomi dan sosial yang kuat dan sehat. Tetapi kenyataan menunjukkan, koperasi yang dengan landasan konstitusi pernah didambakan sebagai “soko guru perekonomian nasional” itu, saat ini tidak mengalami perkembangan yang berarti, sehingga amat jauh ketinggalan dari koperasi-koperasi di negara-negara lain, termasuk koperasi di negara sedang berkembang.


Prinsip Koperasi
Di dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian disebutkan pada pasal 5 bahwa dalam pelaksanaannya, sebuah koperasi harus melaksanakan prinsip koperasi.
Berikut ini beberapa prinsip koperasi :
1.Keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka.
2. Pengelolaan koperasi dilakukan secara demokratis.
3.Sisa hasil usaha (SHU) yang merupakan keuntungan dari usaha yang dilakukan oleh koperasi dibagi berdasarkan besarnya jasa masing-masing anggota.
4.Modal diberi balas jasa secara terbatas.
5.Koperasi bersifat mandiri

Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Meningkatnya jumlah koperasi menjadi 2 kali lipat ini pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan  terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui koperasi.
Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

Perkembangan koperasi di Indonesia pada masa sekarang banyak mengalami peningkatan. Jumlah koperasi primer tingkat nasional mencapai 873 unit dan koperasi sekunder menjadi 165 unit. Sedangkan total koperasi Indonesia yang tersebar di seluruh Indonesia sebanyak 149.793 Koperasi, jumlah yang tidak sedikit. Secara Jumlah ini memang cukup luar biasa tetapi secara kualitas masih jauh dibawah usaha-usaha kapitalis apalagi jika dibandingkan dengan koperasi internasional, selain itu pada tahun 2008 jumlah koperasi berkualitas mencapai 42.267.

sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Koperasi
http://sharlitasara.blogspot.com/2011
http://dhiasitsme.wordpress.com/2011/10/06/kondisi-perkoperasian-di-indonesia/

Sabtu, 19 November 2011

Sejarah Koperasi Ranu Triya


PENDAHULUAN

Koperasi Ranu Triya adalah koperasi yang didirikan di lingkungan Perusahaan CV. Ranu Triya yang anggota-anggotanya terdiri atas Staf dan Karyawan.

Tujuan Koperasi Ranu Triya
Tujuan koperasi  Ranu Triya adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tata perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sedangkan pembentukan koperasi Ranu Triya di kalangan staf dan karyawan dilaksanakan dalam rangka menunjang kesejahteraan taraf hidup.

Dasar-Dasar Pertimbangan Pendirian Koperasi Ranu Triya
1. Menunjang program pembangunan pemerintah di sektor perkoperasian
2. Menumbuhkan kesadaran berkoperasi di kalangan staf dan karyawan
3. Membina rasa tanggung jawab, disiplin, setia kawan, dan jiwa koperasi.
4. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berkoperasi, agar kelak berguna di masyarakat.
5. Membantu kebutuhan staf dan karyawan serta mengembangkan kesejahteraan staf dan karyawan di dalam dan luar perusahaan.

 ISI

SEJARAH BERDIRINYA KOPERASI
• Koperasi ini berdiri pada tanggal 22 April 2011
• Diresmikan oleh Ibu Fitria Aslama (sebagai Penanggung jawab)
VISI & MISI
• Memajukan kesejahteraan anggota
• Melatih staf dan karyawan terampil berwiraswasta dengan koperasi Ranu Triya

Perangkat Organisasi Koperasi Ranu Triya
• Rapat anggota koperasi Ranu Triya
• Pengurus koperasi Ranu Triya
• Pengawas koperasi Ranu Triya

PENUTUP

Demikian hasil survey kelompok kami mohon maaf apabila ada kekurangan informasi karena keterbatasan waktu dan informasi.

Koperasi Simpan Pinjam

KOPERASI SIMPAN PINJAM

Koperasi sebagai wadah pemberdaya ekonomi rakyat, diakui atau tidak sudah semakin redup dan cenderung akan sirna. Padahal para pendiri Republik ini telah memeteraikan koperasi dalam UUD 1945 sebagai bangun usaha yang paling tepat untuk menyelenggarakan perekonomian negara. Orde reformasi telah melepaskan meterai koperasi tersebut dari UUD 1945 melalui TAP MPR RI.
Bila dituntut dari perspektif sejarah koperasi Indonesia, maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa koperasi Indonesia lahir dan bertumbuh dari "proses simpan pinjam". Artinya, koperasi yang ada saat ini diawali dari adanya kegiatan simpan pinjam yang kemudian berkembang dengan memiliki berbagai unit bisnis lain. Dalam perkembangannya, koperasi tanpa ada unit simpan pinjamnya akan terasa hambar. Ini menandakan sudah terbentuk suatu budaya dalam koperasi bahwa unit bisnis simpan pinjam harus tetap melekat pada diri setiap koperasi.
Dari catatan sejarah tersebut dapat diambil hipotesis bahwa Koperasi Simpan Pinjam ataupun Unit Simpan Pinjam adalah merupakan embryo berkembang-mekarnya suatu koperasi. Koperasi jika kualitas embryonya sangat rendah, maka pertumbuhan berikutnyapun jangankan sebagai tulang punggung atau soko guru perekonomian nasional, mengurus dirinyapun dia sudah tidak mampu. Oleh sebab itu, bisnis simpan pinjam yang menjadi embryo untuk berkembang tidaknya suatu koperasi, seyogyanyalah jangan sampai salah urus selama tahap perkembangannya.

Paradigma Koperasi Simpan Pinjam 
Koperasi  harus ikut berubah bilamana ingin maju dan berkembang. Sejarah koperasi Indonesia sudah mencatat bahwa maju berkembangnya koperasi diawali dengan berkualitas tidaknya proses simpan-pinjam di koperasi tersebut. Ingat bukan "pinjam -simpan". Bertitik tolak dari pandangan (point of view) yang demikian, maka sangat wajar harus didukung penuh kebijakan Menteri Koperasi dan UKM Alimarwan Hanan yang saat ini sedang bergelut dan berupaya untuk merevitalisasi Koperasi Simpan Pinjam ataupun Unit Simpan Pinjam. Adanya rencana kebijakan merevitalisasi 150 KSP dengan suntikan modal sebesar Rp. 1 milyard per KSP pada program tahun 2004 harus dioptimalkan, sehingga sejak dini perlu dicermati secara hati-hati. Peristiwa dilahirkannya koperasi-koperasi demi "suksesnya" penyaluran KUT kiranya dapat dijadikan suatu kontemplasi yang hasil akhirnya ternyata kurang menggembirakan bagi pertumbuhan koperasi itu sendiri.
Oleh sebab itu, paradigma revitalisasi KSP dan atau USP harus dipandang dalam rangka menggerakkan ekonomi nasional secara bersama. Disini peran KSP/USP sangat strategis terutama untuk melayani permodalan ataupun menampung simpanan/deposito para Usaha Kecil  Konsequensinya, apa yang dikatakan oleh Prof.Dr.Jochen Ropke, dalam bukunya "The Economic Theory of Cooperatives" dari Philipps University Marburg Germany, menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut di atas. Dikatakan, dalam menggunakan definisi koperasi harus hati-hati dan jangan terlalu banyak mengambil pengertian dari definisi koperasi yang berdasarkan pada kriteria identitas ( owners = customers = users). 
Jadi paradigma pemberdayaan KSP/USP kedepan harus menetapkan segmen pelayanannya. Dengan mengutip data BPS Kementerian Koperasi & UKM (2002), jumlah Unit Kerja ada sebanyak 40.137.773 unit. Ini berarti jumlah UK yang menjadi segmen pelayanan KSP/USP dapat diproyeksikan kurang lebih 54% atau sebanyak 22.000.000 Unit. Sedangkan UM yang dilayani diproyeksikan 5% atau sekitar 2.800 unit. Ada 3 dasar utama bagi KSP/USP mengapa Usaha Kecil saja yang menjadi domain pelayanan KSP/USP.
1.     Usaha Kecil tidak begitu membutuhkan modal kerja maupun investasi yang cukup besar.
2.     Usaha Kecil lebih dominan menggunakan sumber daya lokal sehingga tidak begitu berpengaruh terhadap fluktuasi valuta asing. Faktor ini mengakibatkan usaha kecil lebih stabil, sehingga pembayaran cicilan pinjaman pun relatif akan lebih pasti.
3.     Usaha Kecil masih memiliki budaya malu bila mereka tidak membayar utangnya.

Sekali lagi, memang diakui bahwa paradigma yang ditawarkan tersebut di atas akan mengalami benturan dengan definisi KSP/USP yang telah terkristalisasi dalam benak masyarakat kita termasuk para pembinanya. Secara sederhana, koperasi yang menerima simpanan-simpanan dan deposito dari para anggotanya serta memberikan pinjaman bagi anggota yang sarna hanya itulah yang disebut KSP.  


Konflik Kepentingan 
Asumsikan bahwa kendala legalisasi tidak ada masalah bila KSP/USP diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat luas koperasi (tidak hanya terpaku lagi dari anggota), maka dapat diproyeksikan akan terjadi konflik kepentingan antara anggota dengan non anggota . Sebagai anggota KSP/USP ada 3 peran yang dimilikinya yaitu
1) sebagai pemilik (owner), maka dia berkewajiban, menjaga kelangsungan hidup koperasinya. Untuk itu anggota harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan KSP/USPnya,
2) sebagai pelanggan (customers) maka dia berhak mendapatkan pelayanan prima dari koperasinya. Dari sisi ini, tuntutan agar KSP/USPnya memprioritaskan pelayanan kepada mereka adalah wajar.
3) sebagai pengguna (user) maka dia berhak untuk   menentukan arah program KSP/USPnya.
Disisi lain, non anggota sebagai investor di KSP juga berhak mendapatkan pelayanan yang maksimal atau memperoleh manfaat yang tinggi dari koperasi. Bila tidak demikian mereka (non anggota) tidak akan mau berpartisipasi di KSP/USP. Mereka akan memilih bank sebagai tempat menyimpan uangnya ataupun berinvestasi dengan badan usaha non Koperasi/KSP/USP.
Belum lagi dikaitkan dengan misi pemerintah dimana KSP/USP diharapkan sebagai lembaga non bank ataupun lembaga keuangan mikro (LKM) yang mampu menghimpun dan menyalurkan dananya ke UKM-UKM. Semua kepentingan tersebut akan mengalami benturan di lapangan manakala kebutuhan salah satu unsur tidak terpenuhi.
Ketiga kepentingan tersebut dapat saja bersamaan atau bersinggungan satu sama lain, walaupun mungkin juga terjadi tumpang tindih pada tingkat tertentu. Barangkali ini yang disebut "pura-pura harmonis", dimana sebenarnya secara hakiki terjadi konflik kepentingan yang sama.
Perlu disadari bahwa koperasi adalah merupakan struktur kompleks yang terdiri dari sejumlah individu atau kelompok yang berbeda, yang memiliki kepentingan yang tidak selamanya harmonis. Kepentingan individu dan kemampuan personal untuk memanfaatkan fasilitas koperasi juga berlainan. Ditinjau dari sudut ini, maka koperasi yang keanggotaannya atau kelompok partisipantnya lebih heterogen, akan memiliki potensi lebih tinggi terjadinya konflik.
Perspektif KSP/USP yang berorientasi tidak lagi hanya kepada anggota tetapi juga non anggota akan menambah tingkat keheterogenan di koperasi. Konsequensinya, situasi demikian akan meningkatkan koflik. Sumberdaya organisasi untuk mengatasi masalah itupun akan lebih banyak digunakan. Secara tidak langsung akan menciptakan de-efisiensi di KSP/USP. Oleh sebab itu, untuk meminimalkan biaya konflik -mau tidak mau -membutuhkan pengawasan yang ketat dan transparant dari pemerintah. Karena dengan demikianlah akan terbangun kepercayaan stakeholders khususnya yang non anggota mau menginvestasikan modalnya ke KSP/USP dan terpeliharanya harmonisasi kepentingan di KSP/USP. 

Insentif Anggota 
Potret kinerja struktur permodalan koperasi yang telah dipaparkan di atas tentu tidak jauh perbedaannya dengan gambaran KSP/USP di lapangan. Amatan penulis menyimpulkan bahwa secara umum KSP/USP juga mengalami kesulitan dalam menghimpun dana dari anggotanya. Apalagi dari non anggota? Salah satu faktor penyebabnya adalah bahwa pelayanan KSP/USP kepada anggota dan non anggota tidak begitu dibedakan. Kalaupun ada insentif kepada anggota relatif sama dengan yang diterima non anggota. Padahal biaya pengorbanan anggota dalam bentuk tuntutan partisipasi sebagai pemilik jelas lebih tinggi daripada non anggota. Situasi yang demikian kurang memotivasi anggota untuk aktif berpartisipasi menabung atau mendepositiokan uangnya di Koperasi/KSP/USP.

Perlu direnung ulang bahwa seseorang mau berpartisipasi di koperasi bila dia akan memperoleh nilai manfaat lebih besar dari pada nilai pengorbanannya (Iihat Kurva Nilai Manfaat dan Partisipasi).
Nilai manfaat dapat diukur dari berbagai variable seperti berupa insentif, SHU yang dibagi, bunga simpanan yang lebih tinggi, pelayanan yang lebih cepat, jaminan simpanan yang pasti, dan atau hak-hak lain.
Perlu dipahami bahwa partisipasi adalah merupakan alat untuk memuaskan kebutuhan para stakeholders (anggota, non anggota/ deposant, dan pemerintah). Memang masih perlu dikaji ulang, apakah berkorelasi positif hubungan partisipasi dengan nilai manfaat yang diperoleh oleh anggota dan non anggota ? Secara teoritis, jawabannya ya. Misalkan anggota baik sebagai pemilik maupun pengguna merasa terpuaskan oleh pelayanan KSP/USP berupa nilai manfaat yang diperoleh, maka anggota tersebut akan terus memberikan partrisipasinya berupa modal dan non modal di KSP/USP. Seiring dengan hal itu, pemerintah atau non anggotapun demikian halnya. Pemerintahpun akan terus meningkatkan modal penyertaannya di KSP/USP sepanjang KSP/USP mampu memobilisasi ekonomi rakyatmelalui UK-UK yang ada sehingga rakyat semakin sejahtera.
 Dari perspektif teori berpartis insentif, siklus simpan dulu baru pinjam akan terus mengalir selama proses insentif ini mampu memuaskan anggota maupun non anggota besar . Jika menganut strategi menghimpun modal dari anggota, maka insentif keanggotaan harus lebih signifikan daripada yang non anggota. Dan menurut penulis, untuk daerah pedesaan (rural) strategi ini masih yang terbaik dioptimalkan oleh KSP/USP. Sedangkan untuk daerah perkotaan (urban) KSP/USP sudah harus melakukan ekstensifikasi pelayanan kepada non anggota.

Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa selama KSP/USP dapat memuaskan kebutuhan anggota maupun non anggota kepentingan umum maka tingkat partisipasi mereka akan tetap tinggi. Untuk menjaga partisipasi yang tinggi ini, maka keunggulan kompetitif KSP/USP menjadi masalah sentral yang penting. Setidaknya, manfaat keunggulan KSP/USP minimal sama dengan yang diberikan pesaing ~non koperasi. Untuk itu, teori "harmonisasi" yaitu menseimbangkan kepentingan para stakeholders dan teori "konflik" yaitu mengoptimalkan sumberdaya internal dan ekternal demi kepentingan KSP/USP perlu diterapkan di KSP/USP.
.



Sumber : http://smecda.com