Sabtu, 03 Desember 2011

Revitalisasi Tata Kelola Koperasi: Upaya Membangun Koperasi yang Sehat dan Kompetitif

Secara kuantitatif pada 2010, koperasi di Indonesia mencapai 124.855 unit aktif. Ditambah berbagai organisasi gerakan pendukung lainnya, praktis secara kelembagaan sudah cukup terpenuhi. Dengan potensi sebesar itu, mengapa sampai saat ini koperasi di Indonesia belum juga mampu menunjukkan giginya? Dan bagaimana seharusnya?
Ada diktum tak tertulis di gerakan koperasi, “Salah mendesain visi organisasi, akan salah membangun usaha koperasi”. Diktum ini mengisyaratkan pentingnya sumber daya manusia daripada sumber daya finansial. Ini merupakan konsekuensi logis koperasi sebagai kumpulan orang, bukan modal.
Sebagai kumpulan orang yang berusaha bersama, koperasi merupakan social business (Davis, 2010). Dalam social business terkandung nilai keadilan, pemerataan dan pemberdayaan. Koperasi muncul bukan sebagai perusahaan pengejar laba, melainkan economic and social redistributive enterprise. Yakni sebagai pemberi manfaat kepada anggota dalam bentuk ekonomi juga sosial.
Operasionalisasi Nilai
Operasionalisasi nilai, prinsip dan tujuan koperasi pada akhirnya berada di tangan pengurus dan pengelolanya. Orang-orang kunci tersebut merupakan—meminjam istilah New Public Service Paradigm—adalah para manajer publik. Menurut Denhardt (2007) sekurang-kurangnya ada tujuh hal yang perlu diperhatikan oleh para manajer publik, sebagai berikut:
1. Serve citizens, not customers.
2. Seek the public interest.
3. Value citizenship over entrepreneurship.
4. Think strategically, act democratically.
5. Recognize that accountability isn’t simple.
6. Serve rather than steer.
7. Value people, not just productivity.
Dalam konteks koperasi, poin pertama mengisyaratkan orientasi pelayanan kepada anggota. Menurut Munkner (1995) usaha koperasi melayani minimal 60% anggotanya dan maksimal 40% kepada selain anggota. Di Indonesia naasnya praktika yang berkembang koperasi lebih banyak melayani non-anggota. Praktika menyimpang ini misalnya menjamur pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
Pada poin kedua, ada contoh bagus bagaimana Bank Koperasi Inggris Raya pada 1992 memasukkan kebijakan etika yang didukung 84% anggotanya. Kebijakan etika tersebut misalnya bahwa koperasi tidak membiayai usaha yang mempekerjakan anak, memperdagangkan senjata dan hewan-hewan yang dilindungi. Juga tidak membiayai usaha yang merusak lingkungan dan sebagainya. Menariknya, pasca kebijakan tersebut digulirkan, kepercayaan anggota meningkat dan mencetak keuntungan di luar harapan sebelumnya (Djohan, 2011). Pengalaman Bank Koperasi Inggris Raya tersebut menunjukkan bagaimana kepedulian anggota terhadap isu tertentu berpengaruh signifikan kepada usaha koperasi.
Poin ketiga menjelaskan tentang pentingnya mengelola anggota bukan sekedar usaha. Anggota tidak boleh hanya dimaknai sebatas “penanam saham” layaknya perusahaan swasta. Anggota harus dipahami secara penuh sebagai homo cooperativus yang membutuhkan sentuhan sosial-emosional, bukan sekedar tactical business semata. Anehnya, perusahaan swasta selangkah lebih maju memahami hal ini dengan membangun berbagai komunitas untuk para pelanggan.
Poin keempat mengisyaratkan keluwesan sistem. Kebijakan strategis seharusnya tak mengurangi ruang demokrasi dalam koperasi. Dengan infrastruktur teknologi terkini, hal ini akan semakin mungkin dan mudah dilaksanakan. Misalnya melalui SMS Broadcast, situs jejaring sosial dan lainnya. Perangkat teknologi tersebut dapat digunakan untuk menyerap aspirasi dan atau menyebarluaskan kebijakan tertentu kepada anggota.
Poin kelima, memang harus dipahamkan kepada pengurus dan pengelola koperasi bahwa pertanggungjawaban bukan masalah sederhana. Dalam konteks ini, sekurang-kurangnya Rapat Anggota Tahunan merupakan mekanisme yang harus ada. Dan sayangnya, dari 124.855 koperasi di Indonesia, hanya 55.818 koperasi yang menyelenggarakan rapat anggota secara rutin. Rapat anggota juga perlu dipahami bukan sebatas ritual tahunan, melainkan juga media edukasi anggota.
Poin keenam menunjukkan bagaimana kewajiban utama pengurus dan pengelola koperasi adalah melayani anggota. Bukan sebaliknya, membawa dan mengarahkan koperasi sesuka hati manajemen. Oleh Davis (2010), praktik menyimpang itu disebut sebagai “manajerialisme”. Artinya, manajemen menggunakan kekuatan internalnya untuk meswastanisasi koperasi dan sering dalam prosesnya memperkaya pengurus atau pengelolanya.
Poin ketujuh, pengurus atau pengelola koperasi harus memperhatikan manajemen sumber daya manusia karyawan. Agar para karyawan bekerja dengan “hati”, bukan sekedar “tangan”. Manning (2002) mengingatkan, ideologi sangat berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan. Dan di sinilah pentingnya membumikan nilai koperasi kepada mereka secara proporsional.
Tata Kelola Berbasis Nilai
Dalam perkembangannya, koperasi melahirkan dan mempraktekkan tata kelola khusus yang berbeda dengan tata kelola perusahaan/ organisasi lainnya. Tata kelola tersebut merupakan turunan dari identitas, nilai dan prinsip koperasi.
Koperasi berbeda dengan bangun usaha swasta atau organisasi lainnya. Perbedaan terletak pada nilai dan tujuan adanya (raison d’etre). Akhirnya pada 1998, ICA mengeluarkan Value Based Professional Management (Djohan, 2003).
Tata kelola profesional berdasar nilai menitikberatkan pada proses, fungsi dan sistem koperasi. Dan untuk memastikan kesinambungan koperasi yang berbasiskan anggota, berorientasi pada komunitas dalam pasar yang kompetitif. Menurut Ibnoe Soejdono (Djohan, 2003), ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
Tata kelola koperasi terkait dengan proses, fungsi dan sistem selalu mendasarkan diri pada jati diri koperasi; Kekuatan koperasi bersumber pada anggota-anggotanya dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan-aspirasi ekonomi, sosial dan budaya anggota; Koperasi sebagai produk dari lingkungannya harus berorientasi kepada kepentingan lingkungan atau komunitasnya; Dan keempat, koperasi bekerja dalam pasar oleh karenanya harus memiliki daya saing cukup besar untuk dapat hidup berkesinambungan.
Penelitian Ake Book (1992), menemukan banyak pengelolaan koperasi terbawa ke arah capital based association. Banyak di antara mereka menggunakan tata kelola yang tak sesuai dengan identitas, nilai dan prinsip koperasi sehingga mengalami kerusakan (Djohan, 2003).
Berharap pada Orang Kunci
Di antara berbagai agenda, salah satu yang penting adalah membenahi tata kelola koperasi. Dengan tujuh kerangka model New Public Service dan empat acuan tata kelola berbasis nilai, sangat mungkin koperasi hidup sehat dan tetap kompetitif.
Koperasi yang hidup di tengah pasar terbuka mau tidak mau harus mengambil sikap; Berubah atau kehilangan ruh dan membusuk. Perlu ditempuh pendekatan lain, bukan dengan kucuran dana atau guyuran fasilitas, melainkan mengembalikan koperasi kepada khittah-nya; Koperasi adalah kumpulan orang.
Sebagai kumpulan orang, agenda terdekat sekurang-kurangnya adalah menyegarkan kembali pola pikir dan sikap orang-orang kunci di dalamnya. Dan di tangan para pengelolanya lah hakikat kehidupan koperasi. Karena mereka, diakui atau tidak, bak Nabi yang menafsir teks suci. Dan dengan tongkatnya membawa bahtera mengarungi samudera luas.
Terakhir hukumnya adalah “Palma non sine pulvere!”. Bahwa tak akan ada kemenangan tanpa jerih payah!

#sumber www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar